KIAI MASUK GEREJA! SIKAP TERHADAP NON-MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Oleh : KH. M. Said Abdurrochim

(Pengasuh PP. MUS Sarang Rembang Jateng)

Kita semua sepakat bahwa salah satu kewajiban kita adalah menjaga keutuhan NKRI. Di antaranya dengan senantiasa menjaga kerukunan antar umat beragama. Namun menjaga kerukunan ini tentunya tidak boleh keluar dari tatanan syariat yang mengatur hubungan interaksi antara umat Islam dengan non-muslim.

Dalam konsep Islam, seorang muslim boleh berinteraksi atau bergaul dengan non-muslim hanya sebatas dalam urusan sosial kemasyarakatan, seperti bertransaksi dan berprilaku baik, meski demikian hati si muslim tidak boleh terdapat perasaan mawaddah (kecondongan hati). Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas dari Al-Qur’an tentang larangan muwalah, mawadah dan mail al-qalbi pada non-muslim.

Syaikh Sulaiman al-Bujairami dalam kitabnya Hasyiyat al-Khatib mengatakan : “Al-Mail Al-Qalbi”, dhahir teks ini menjelaskan bahwa kecondongan hati terhadap orang kafir itu hukumnya haram, walaupun kecondongan hati itu disebabkan jasa kebaikan atau menolak mudharat yang dilakukan mereka. Namun seharusnya keharaman ini dibatasi dalam  konteks kecondongan hati sebab melakukan tindakan-tindakan yang bisa mendorong mahabbah terhadap mereka. Kalau tidak demikian, maka kecondongan hati yang bersifat naluriah atau tidak bisa dihindari, tidak termasuk dalam perintah untuk dijauhi. Bagi seorang muslim sebisa mungkin harus berusaha menolak kecondongan hati tersebut. Jika ia tidak bisa menolaknya, maka ia terkena konsekuensi hukum. Demikian keterangan Imam Ali Syibramalisi saat mengomentari Imam Ramli. (selesai). 

Di sisi lain, yang kami amati sedikitnya ada tiga sikap umat Islam dalam bergaul dan berinteraksi dengan non-muslim :

1. Keras dan menampakkan tidak bersahabat dengan mereka

2. Bergaul dan membaur dengan baik dan santun, menampakkan senang pada mereka, tidak membeda-bedakan orang itu Islam atau bukan, serta semuanya dianggap sama. Interaksi yang demikian ini diperlihatkan dan ditampakkan di luar saja, sementara hatinya masih tetap benci karena mereka non-muslim.

3. Sama dengan yang kedua, cuma disertai perasaan senang pada mereka.

Sikap yang pertama ini diberlakukan pada kafir harbi (kafir yang memusuhi islam). Dasarnya adalah ayat :

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ

Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (muslim). (QS. al-Fath : 29 )

Sebagian ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini diarahkan untuk pada kafir harbi.

Sementara sikap yang kedua diperlakukan untuk non muslim yang ahli dzimi. Dasar yang menjelaskan hal ini adalah ayat :

لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الّذيِنَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ في الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya : Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah : 08)

Sedangkan sikap yang ketiga ini tidak dibenarkan, karena para ulama sepakat kita dilarang mempunyai perasaan rasa cinta dan condong pada non muslim baik kafir dzimi apalagi kafir harbi.

Larangan menjalin ikatan kasih sayang dengan non muslim tersebut, bukan berarti tidak boleh menaruh belas kasih dan berlaku lembut kepada mereka. Rasululllah SAW bersabda : “Barang siapa yang tidak berbelas kasih ia pun tidak dibelas kasihi.” (H.R. Al Bukhari dari Abu Hurairah). Mengulas hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengatakan : “Menurut Ibnu Batthal, hadis ini mengandung pesan anjuran untuk berbelas kasih kepada semua makhluk, termasuk orang mukmin maupun kafir, dan binatang-binatang piaraan maupun binatang-binatang liar”. (selesai)

Dengan demikian, sesungguhnya belas kasih itu mencakup seluruh makhluk, bukan hanya tertentu untuk kaum muslimin saja. Alasannya sudah jelas, yaitu karakter hayawaniyah pada manusia atau hewan itulah yang mendorong rasa belas kasih. Dan bahkan Faktor-faktor yang mendorong belas kasih yang ada pada manusia itu lebih kuat dari pada yang ada pada hewan. Kemudian adanya kekafiran pada diri seseorang adalah sesuatu yang mendorong untuk dibelas kasihi. Sebab, pada hakikatnya ia adalah orang yang sedang diberi cobaan, dan orang yang diberi cobaan itu jangan diperlakukan dengan keras. Bahkan orang muslim sebaiknya membelas kasihi orang-orang seperti itu dengan memberinya nasehat dan mengajaknya ke jalan yang benar.

Jika ada yang mengatakan bahwa kita harus selalu berlaku keras terhadap orang-orang kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Fath ayat 29 berikut ini :

 مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ [الفتح/29]

Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir”. (Q.S. al-Fath : 29)

Dimana dalam ayat ini Allah menyifati Nabi Muhammad dan para sahabatnya sebagai orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir. Apakah hal itu menafikan belas kasih ?

Menurut kami, ayat tadi ditafsiri dengan firman Allah berikut ini :

عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (7) لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) [الممتحنة/7-9]

Artinya : “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Al- Mumtahanah : 7-9)

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, dan mengusir mereka dari kampung halamannya sendiri, maka kaum muslimin harus berlaku keras terhadap mereka sebagai balasan yang setimpal, dan itulah yang dimaksud firman Allah : 

 مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ [الفتح/29]

Adapun hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang sering disebut di kitab fikih “Apabila kalian bertemu salah seorang dari mereka – yakni orang Yahudi dan orang-orang Nasrani – di jalan maka pepetlah hingga terdesak”, maka hal itu merupakan kiasan untuk menyatakan kejayaan Islam dan kehinaan kekufuran. Imam Qurthubi seperti yang diceritakan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar mengomentari seputar hadist ini mengatakan : “Artinya, janganlah kamu menepi dari jalan yang sempit demi menghormati dan memuliakan mereka.”

Berdasarkan hal itu, maka pengertian ini sesuai dengan pengertian yang pertama tadi . Jadi pengertiannya bukan “Jika kalian berpapasan dengan mereka di sebuah jalan yang lebar, maka pepetlah mereka ke pinggir sehingga mereka terdesak”. Sebab perbuatan itu termasuk bentuk menyakiti. Dan kita dilarang menyakiti mereka jika tanpa ada alasan. (selesai)

Dan ketika terjadi konflik antara kelompok muslim dan non-muslim di Indonesia ini, kita melihat ada tiga kelompok, seperti permasalahan yang pertama 

1. Kelompok yang selalu lunak, dan membela non-muslim dan tidak ada semangat ukhuwah terhadap kelompok umat islam yang lain bahkan menyalahkannya ketika non-muslim dinodai atau diganggu, tanpa mempertimbangkan alasan yang disampaikan oleh pihak muslim dan selalu menjaga serta melindungi non-muslim sampai-sampai gereja pun tak luput dari penjagaannya, padahal sudah ada aparat keamanan TNI dan polisi. 

Tak habis pikir, ada juga sebagian kiai yang mendukung dan membenarkan langkah ini karena beralasan penjagaan ini bagian dari dakwah. Pertanyaannya, dakwah itu apa dan korelasinya apa ? kalau benar penjagaan itu bertujuan untuk menarik simpati non-muslim, maka hal tersebut tetap tidak lantas membenarkan segala cara. Karena tujuan yang baik tidak bisa dilakukan dengan cara yang tidak baik dan benar. Ada kaidah yang berbunyi :

الغاية لا تبرر الوسيلة  

“Tujuan yang baik tidak bisa membenarkan perantara yang tidak baik”.

Oleh karenanya, tidak dibenarkan menjaga gereja ketika dilaksanakan ritual keagamaan. Ketetapan hukum ini sesuai dengan kesepakatan para ulama bahwa kita tidak boleh saling menjadikan teman penolong antara orang islam dan non-muslim. Sebab penjagaan gereja pada waktu pelaksanaan ritual peribadatan adalah bentuk nyata dari saling menjadikan teman penolong antara orang islam dan non-muslim yang diharamkan.

Saling menyayangi dan saling menolong secara akal, naluri dan syara’ itu harus dengan orang-orang yang seagama, satu kepentingan, senasib, dan satu masa depan, sebagaimana yang diterangkan oleh Allah Yang Maha Benar dalam firman-Nya :

المؤمنون و المؤمنات بعضهم أولياء بعض

Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. (QS. At-Taubah : 71)

و الذين كفروا بعضهم أولياء بعض

Artinya : Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain (QS. Al-Anfal : 73)

Di samping itu para ulama dan fuqaha mengatakan gereja dulu dengan gereja sekarang berbeda, yaitu karena gereja sekarang baru dibangun.

Dan seringkali dalam refleksi akhir tahun, ormas islam terbesar ini selalu mengatakan umat islam masih intoleran. Sementara ketika umat islam ditindas dan diganggu non-muslim di wilayah minoritas muslim, minim pembelaan. Sebenarnya standar toleransi itu menurut kiai pesantren atau kaum pluralis agama? Sehingga belum dikatakan toleran kalau belum mau natalan bersama orang non-muslim, mengucapkan selamat hari natal, ikut membantu pembangunan gereja dan lain-lain. 

Di kitab-kitab fikih yang menjadi rujukan kiai pesantren dan NU. Sudah dijelaskan dengan gamblang tentang tata cara berinteraksi dengan non-muslim. Karena itu kiai pesantren dan santri sudah paham dan mandiri dalam urusan kode etik berinteraksi dan bergaul dengan penganut agama lain. Sebagai warga negara yang berasaskan pancasila, sudah pasti umat islam selalu menjaga toleransi antar umat beragama. Namun, jangan berkedok toleransi yang justru merusak akidah umat islam. Terbukti selama ini, umat islam tidak pernah melakukan kekerasan terhadap non-muslim, kecuali yang melakukan kekerasan hanya segelintir oknum dari umat islam. Karena itu tidak benar tokoh ormas islam terbesar mengeneralisir kasus yang dilakukan oleh segelintir orang islam dengan mengatakan umat islam Indonesia masih intoleran.

Tindakan yang tidak dibenarkan lagi adalah seorang ustadz masuk gereja, karena ketika seorang ustadz masuk gereja dalam keadaan gereja aktif melakukan kegiatan kebaktian atau lainnya, seperti peresmian gereja. Dipastikan akan menimbulkan mafsadah diniyyah (kerusakan yang berkaitan dengan agama), walaupun menghadiri undangan mereka. Oleh karena itu, keharaman memasuki gereja dalam keadaan seperti yang kami sebut di atas bisa menimbulkan mafsadah diniyyah  yaitu : 

1. Memperbanyak kelompok mereka

2. Memperlihatkan syiar mereka

3. Menimbulkan kesan ibadah mereka itu benar (padahal salah)

4. mengagungkan tempat beribadah mereka.

Lain halnya, gereja dalam keadaan kosong atau tidak mengadakan kegiatan keagamaan. Maka memasuki gereja tidak menimbulkan mafsadah seperti yang disebutkan. Keterangan tambahan, syarat dan qayyid (batasan) diperbolehkan masuk gereja ini seperti termuat dalam kitab Mawahib al-Madaniyyah bi Hamisy at-Turmusi halaman 398-399. 

Dalam kitab-kitab ulama salaf menjelaskan, bahwa haram hukumnya menemani duduk orang fasik atau orang kafir dengan tujuan menghibur atau menyenangkan kefasikan dan kekafirannya. Kasus pak yai Agus Miftah masuk gereja atas undangan mereka dan duduk bersama jamaah gereja bisa dipastikan menghibur dan menyenangkan mereka, apalagi di gereja tersebut dipastikan ada patung Yesus Kristus, ditambah bicaranya di mimbar pastur, berarti termasuk praktek tasyabuh (menyerupai) kepada mereka, sekaligus mendatangi tempat yang ada maksiatnya yaitu patung.

Kita semestinya harus waspada, banyak publik figur baik di tingkat kabupaten atau tingkat nasional yang diberikan kesempatan masuk gereja untuk memberikan orasi-orasi yang isinya tidak ada kaitannya dengan dakwah islam. Kebanyakan malah berceramah tentang pluralisme agama dan paham masuniyah yaitu paham yang mengatakan semua agama itu sama, agama hanya satu alat untuk memperbaiki akhlak masyarakat. Mengundang tokoh islam ke gereja, kita waspadai dan curigai untuk mengerahkan simpati umat islam kepada mereka non-muslim. 

Kita dalam menghukumi masalah tidak boleh sepotong-potong, seperti hukum masuk gereja boleh dengan menukil ibarat kitab fikih tentang kebolehan orang muslim masuk gereja, padahal kebolehannya tersebut harus menetapi syarat dan qayid seperti yang kami sebutkan. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’nya mengatakan, tidak boleh kita menghukumi suatu masalah dengan hukum mutlak padahal semestinya masalah itu hukumnya harus ditafshil (diperinci). Dan seperti kita ketahui, bahwa ibaratnya (ungkapan kata-kata) para ulama dikitab-kitabnya itu :

 يقيد بعضه بعضا

 "Ibarat kitab para ulama itu dilengkapi qayid kitab ulama yang lain"

Karena itu ibarat kitab fikih yang memutlakkan hukum orang islam boleh masuk gereja ini harus disyaratkan seperti syarat yang kami sebut diatas. Dan bagi orang yang telah mendalami kitab fikih, syarat-syarat yang disebut dalam Mawahib al-Madaniyyah sudah maklum. Karena itu, banyak kitab yang membolehkan orang islam masuk gereja dengan tidak menyebut syarat-syarat tersebut, karena sudah maklum.

2. Kelompok yang selalu membela umat islam dan keras terhadap non-muslim, tidak pandang bulu dzimmi atau tidak, kitabi atau tidak, semuanya dianggap sama dan harus dimusuhi, bahkan sampai menghalalkan harta dan darah mereka. Banyak perdebatan ulama dulu dan ulama sekarang tentang status non-muslim Indonesia, perdebatan masalah ini di zaman sekarang menurut hemat kami tidak perlu. Karena akan memperkeruh dan memperuncing masalah, sebab dari definisi jenis-jenis non-muslim semuanya tidak pas diterapkan untuk non-muslim Indonesia yang pada akhirnya malah berujung dikatakan sebagai kafir harbi. Tapi yang jelas, dikatakan kafir apapun, baik harbi atau lainnya, non-muslim indonesia tetap tidak boleh diganggu fisik maupun hartanya, karena akan menimbulkan madharat.

3. Kelompok penyeimbang dan objektif dalam menilai antara muslim dan non muslim. Karena Sering kali kekerasan yang dilakukan oleh kelompok islam ini, akibat reaksi dan balasan yang dilakukan oleh non-muslim. 

Jadi tidak fair menilai non-muslim yang minoritas selalu menjadi korban kelompok islam yang mayoritas. Padahal dalam sepanjang sejarah, tidak ada non muslim ditindas oleh pemerintahan islam dan mereka merasa terganggu, karena pemerintah wajib melindungi mereka serta umat islam juga tidak boleh mengganggu mereka. Tapi disisi lain, kita sendiri sering melihat tindakan non-muslim yang memaksakan kehendak seperti banyaknya gereja di daerah atau kampung yang 95% berpenduduk muslim sementara sulitnya mendirikan masjid di wilayah yang mayoritas non-muslim dan maraknya kristenisasi, padahal tindakan ini dilarang oleh pemerintah.

Saling memahami lewat dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam masalah sosial kemasyarakatan itu sepatutnya menjadi agenda para agamawan lintas agama demi kemashlahatan umat, demi kebaikan bersama, dan demi menghindari hal-hal yang menyakitkan serta keburukan. Dan tentunya di tempat forum yang netral, bukan kerjasama dalam bentuk do’a bersama. Memang di dalam al-Qur'an Allah melarang menjalin ikatan kasih sayang dengan orang non Islam. Tetapi dialog dan bekerja sama melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi seluruh manusia umumnya dan bagi kaum muslimin khususnya, itu belum tentu disertai mawaddah (mencintai dan kasih sayang).

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengatakan: "Berbuat baik, menjalin tali persaudaraan, dan berlaku santun kepada orang musyrik itu tidak berarti harus saling mencintai dan kasih sayang yang dilarang dalam firman Allah SWT :

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ  

Artinya : Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. (Q.S. AlMujadilah : 22) (selesai)

Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf mengemukakan beberapa dalil al-Qur’an, hadis, atsar dan pendapat para ulama menyikapi pertanyaan masalah orang muslim dan non-muslim bekerjasama untuk melakukan amal sosial. Beliau mengatakan : “Jika anda sudah tahu dalil-dalil tadi, maka meminta bantuan kepada orang-orang non-muslim, para ahli bid’ah dan penganut aliran sesat dalam masalah-masalah di atas, hal itu tidak apa-apa dengan syarat tidak adanya muwalah (ikatan tali kasih sayang) yang dilarang. Bahkan terkadang menjadi suatu anjuran”.

Termasuk kerjasama yang nyrempet-nyrempet mawaddah dan mail al-qalbi kepada non-muslim adalah aktif dalam FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama), karena sangat dikhawatirkan menimbulkan rasa simpati, peduli dan hormat dari pihak muslim terhadap pihak non-muslim dan mempererat keakraban yang berlebihan antar keduanya yang berujung pada penyetaraan antar agama mayoritas (islam) yang benar dengan agama minoritas (selain islam) yang salah. Inilah hakikat paham pluralisme agama yang mengkikis ghairah islamiyyah dan FKUB inilah yang paling getol mengadakan do’a bersama yang didukung penuh oleh kaum pluralisme agama, padahal do’a bersama ini menyebabkan kedekatan batin dan keintiman antar muslim dan non-muslim.

Dalam islam, yahudi dan nasrani saja tidak boleh dijadikan teman dekat, apalagi penyembah berhala dari anggota FKUB yang lain yaitu hindu, budha dan konghucu. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat islam wajib bersifat eksklusif, karena itu haram mencampuradukkan akidah- ibadah umat islam dan akidah-ibadah pemeluk agama yang lain. Salah satu contoh, ketika non-muslim ikut beristisqa’ (do’a meminta hujan) bersama-sama orang islam dianjurkan non-muslim berdoa sendiri tidak berkumpul dengan orang islam.

Kalau ingin menciptakan kerukunan dan kekompakan diantara anak bangsa, muslim dan non-muslim mbok yao tidak dengan cara kebersamaan ritual, seperti do’a bersama tapi diwujudkan lewat kerjasama antar umat beragama dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan.

Harapan kami, yang sudah terlanjur masuk FKUB supaya menjaga hati agar tidak punya mawaddah dan mail al-qalbi pada non-muslim dan menghindari do’a Bersama. Kalau pun toh terpaksa do’a bersama ini dilakukan, supaya majelis do’a antar agama disendiri-sendirikan, walaupun satu lokasi dan tiap-tiap majelis ada kelompok agama sendiri-sendiri yang mengamini do’a.

Demikian tulisan ini semoga bermanfaat dan objektif sesuai dengan dalil-dalil syar’i. Dan mohon maaf apabila ada ormas yang merasa tersinggung dengan tulisan ini. Tujuan kami semata-mata untuk mengingatkan betapa nyaringnya dahulu para tokoh ormas islam terbesar ini mengumandangkan semboyan dan jargon untuk izzul islam wal muslimin, tapi sekarang yang digaung-gaungkan beliau sebagai pucuk pimpinan ormas islam terbesar ialah kesetaraan muslim dan non-muslim. Padahal bicara kesetaraan itu mestinya porsi pemerintah dan FKUB. Sekarang memang zamannya merdeka, ada kampus merdeka, menyampaikan pendapat pun semakin merdeka. 

Loyal kita sekarang hanya kepada kebenaran, yang tertulis dalam kitab-kitab para ulama yang diwariskan kepada kita. Bisa juga loyal kepada organisasi, selama organisasi itu sekarang masih sesuai dan sejalan dengan madzhabnya pendiri organisasi tersebut. Guru kami Syaikh Abul Fadhol, muridnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari  dawuh :

 مذهب الجمعية مذهب مؤسسها 

“Arah pandangan organisasi itu harus sesuai dengan madzhabnya pendiri”

Dan madzhabnya pendiri ormas islam terbesar itu salah satunya madzhab fikih syafi’I yang ditulis oleh para ulama salaf kita. Karena itu apa yang kami tulis ini, sesuai dengan pandangannya ormas islam terbesar tersebut.  Wallahu a’lam..

Sarang, 25 Ramadan 1442 H / 07 Mei 2021 M





✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅


-------------------------------------------------
PENDAFTARAN SANTRI BARU
PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS 
PATI KOTA
-------------------------------------------------
KLIK 👇 DI SINI
*Alasan Nyantri - Prosedur - Administrasi
--------------------------------------------


Pondok Pesantren Al-Ikhlas Pati Kota
juga memiliki lembaga pendidikan formal (sekolah) yang bernaung di bawah yayasan yang sama :

✅ MA ASSALAMAH PATI ✅
👉 (Program Unggulan: Tahfidzul Quran)
▶️ Selengkapnya...👇 klik 👇


✅ SMK ASSALAMAH PATI ✅
👉 (Program Keahlian: Otomotif & Tata Busana)
▶️ Selengkapnya...👇 klik 👇



----------------------------------------------------------

Baca juga....

Profil Singkat Pesantren 
klik sini

Pendaftaran Santri Baru
 klik sini

Kegiatan Harian Santri

----------------------------------------------------------

Portal #NgajiOnline Kiai Pesantren
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇

(KLIK 👆 dan SUBSCRIBE untuk mendapat update terbaru!)
 GRATIS! GRATIS! GRATIS
🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏


KIAI MASUK GEREJA! SIKAP TERHADAP NON-MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FIKIH KIAI MASUK GEREJA! SIKAP TERHADAP NON-MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FIKIH Reviewed by MASFADH on 10.19 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.